BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
MASALAH
Pendidikan anak usia dini merupakan
salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan memasuki pendidikan
lebih lanjut. Tahap perkembangan anak pada usia dini
merupakan masa yang sangat penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan
anak. Perkembangan otak pada usia dini mencapai hampir 80%, Oleh karena itu
pengoptimalan perkembangan anak dengan memberi stimulasi positif pada masa
golden age ini sangat penting untuk dilakukan melalui pemberian rangsangan.
Pendidikan anak usia dini bertujuan untuk
mengembangkan semua aspek perkembangan yang dimiliki anak, dan diharapkan dengan
adanya pendidikan anak usia dini dapat mengembangkan hidden potency sehingga
potensi tersebut dapat teraktualisasi. Salah satu aspek perkembangan anak usia
dini yaitu perkembangan bahasa. Masa puncak untuk mempelajari bahasa adalah
dari lahir sampai usia 6 tahun, sedangkan masa yang paling intensif adalah 3
tahun pertama usia anak dimana ketika itu otak sedang berkembang menuju proses
pematangan. Kemampuan bahasa
yang pertama kali diperoleh anak adalah kemampuan bahasa lisan yang mencakup
kemampuan mendengar dan berbicara, kemampuan ini menjadi dasar dalam
pengembangan kemampuan bahasa lainnya yaitu membaca dan menulis.
Kemampuan menulis berhubungan dengan kemampuan
motorik yakni motorik halus karena menekankan pada kordinasi otot tangan dan
jari atau kelenturan tangan yang bersifat keterampilan. Kegiatan menulis dasar
sudah dapat dimulai saat anak menunjukkan perilaku seperti mencoret-coret buku
atau dinding, kondisi tersebut menunjukkan berfungsinya sel-sel otak yang perlu
dirangsang supaya berkembang secara optimal.
Menulis merupakan
salah satu media untuk berkomunikasi, dimana anak dapat menyampaikan ide,
makna, pikiran dan perasaannya melalui untaian kata-kata yang bermakna,
Kesulitan menulis akan menjadi hambatan dalam proses pembelajaran anak, karena
anak yang mengalami kesulitan menulis ini tidak bisa menuangkan dan
mengemukakan ide dengan baik.
Aktifitas belajar menulis bagi setiap anak tidak
selamanya berangsur secara wajar, karena setiap anak memiliki karakteristik
yang berbeda, perbedaan individu pula yang menyebabkan perbedaan tingkah laku
anak, anak yang tidak mampu menulis sebagaimana mestinya, itulah yang disebut
dengan Disgrafia. Yakni kesulitan khusus dimana anak-anak tidak bisa menuliskan
atau mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan, karena mereka tidak bisa
menyuruh atau menyusun kata dengan baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya
( tangan ) untuk menulis. Pada anak-anak umumnya kesulitan ini terjadi pada
saat anak mulai belajar menulis. Kesulitan ini tidak tergantung kemampuan
lainnya. Seseorang bisa sangat fasih dalam berbicara dan keterampilan motorik
lainnya, tapi mempunyai kesulitan dalam
menulis.
B. PERMASALAHAN
Dari latar belakang masalah tersebut bisa
disimpulkan bahwa kesulitan menulis pada anak bila
tidak dideteksi secara dini dan tidak dilakukan terapi yang benar, bisa
menyebabkan kegagalan dalam proses pendidikan anak. Sehingga harus ditempuh
upaya penyelesaian untuk mengatasi permasalahan disgrafia ini.
Berdasarkan permasalahan tentang perkembangan
menulis dan kesulitan yang menghambatnya, maka penelitian ini ini difokuskan
untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi disgrafia, masalah tersebut
dirumuskan dalam bagaimana efektivitas teknik Scaffolding dalam pembelajaran
menulis bagi anak disgrafia.
C. LANDASAN TEORI
a. Pengertian Menulis
Menulis merupakan salah satu kemampuan berbahasa.
Dalam pembagian kemampuan berbahasa, menulis selalu diletakkan paling akhir
setelah kemampuan menyimak, berbicara, dan membaca. Meskipun selalu ditulis
paling akhir, bukan berarti menulis merupakan kemampuan yang tidak penting.
Dalam menulis semua unsur keterampilan berbahasa harus dikonsentrasikan secara
penuh agar mendapat hasil yang benar-benar baik.
Banyak pengertian yang
dikemukaakan para ahli untuk mendefinisikan menulis, Tarigan
(Djuanda,2008:180) mengemukakan bahwa : Menulis adalah menurunkan atau
melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami
oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa gambar itu.
Senada dengan itu M. Atar
Semi (2007: 14) dalam bukunya mengungkapkan pengertian menulis adalah suatu
proses kreatif memindahkan gagasan ke dalam lambang-lambang tulisan.
Henry
Guntur Tarigan (1986: 15) menyatakan bahwa menulis dapat diartikan sebagai
kegiatan menuangkan ide/gagasan dengan menggunakan bahasa tulis sebagai media
penyampai. Menurut Djago Tarigan dalam Elina Syarif, Zulkarnaini, Sumarno
(2009: 5) menulis berarti mengekpresikan secara tertulis gagasan, ide,
pendapat, atau pikiran dan perasaan. Lado dalam Elina Syarif, Zulkarnaini,
Sumarno (2009: 5) juga mengungkapkan pendapatnya mengenai menulis yaitu:
meletakkan simbol grafis yang mewakili bahasa yang dimengerti orang lain.
Menurut pendapat Hasani (2005:5) menulis merupakan
keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak
langsung. Menulis merupakan kegiatan yang produktif dan ekspresif, sehingga
penulis harus mampu memanfaatkan kemampuan dalam menggunakan tata tulis,
struktur bahasa dan kosakata.
Menulis memerlukan keterampilan
pengendalian otot ,koordinasi mata dan tangan, diskriminasi visual.
Keterampilan dasar kesiapan menulis harus dikembangkan sebelum anak memulai
belajar menulis. Pengendalian otot dapat dikembangkan melalui aktivitas
manipulatif, misalnya memotong dengan gunting, menggambar dengan ujung jari,
menelusuri dan mewarnai. Koordinasi mata dan tangan dapat dilatih melalui
kegiatan menggambar lingkaran dan bentuk geometri lain. Semua keterampilan
dasar sangat diperlukan untuk mengenal berbagai bentuk huruf, serta cara
penulisan huruf itu sendiri (Yusuf, 2005: 187).
Menulis dapat dianggap sebagai suatu proses maupun
suatu hasil. Menulis merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk
menghasilkan sebuah tulisan. Menurut Heaton dalam St. Y. Slamet (2008: 141)
menulis merupakan keterampilan yang sukar dan kompleks.
Menulis menurut McCrimmon dalam St. Y. Slamet (2008:
141) merupakan kegiatan menggali pikiran dan perasaan mengenai suatu subjek, memilih
hal-hal yang akan ditulis, menentukan cara menuliskannya sehingga pembaca dapat
memahaminya dengan mudah dan jelas. St. Y. Slamet (2008: 72) sendiri
mengemukakan pendapatnya tentang menulis yaitu kegiatan yang memerlukan
kemampuan yang bersifat kompleks.
Menulis merupakan
ekspresi/ungkapan dari bahasa lisan dalam suatu bentuk goresan/coretan. Kegiatan awal menulis dimulai ketika anak pura- pura menulis diatas kertas, pasir, atau media lainnya dalam bentuk coretan–coretan sampai anak mampu
menirukan bentuk tulisan yang sesungguhnya.
b. Tahapan-Tahapan
Menulis
Menurut Brewer ada 4 tahapan dalam kemampuan menulis
sebagai berikut:
1.
Tahap
mencoret atau Membuat Goresan (Scribble Stage).
Tahap ini anak ditandai dengan
mulainya anak menggunakan alat tulis untuk membuat coretan. Sebelum ia belajar
untuk membuat huruf yang dapat dikenali.
2. Tahap Pengulangan secara
linear (Linear Repetitif Stage).
Tahap ini anak menemukan bahwa tulisan biasanya
berarah horizontal dan huruf-huruf tersusun berupa barisan pada halaman kertas.
Anak juga telah mengetahui bahwa kata yang panjang akan ditulis dalam
barisan huruf yang lebih panjang di bandingkan dengan kata yang pendek.
3. Tahap Menulis secara
Random/acak (Random Letter Stage).
Pada tahap ini anak balajar mengenai bentuk coretan
yang dapat diterima sebagai huruf dan dapat menuliskan huruf-huruf tersebut dalam
urutan acak dengan maksud menuliskan huruf tertentu.
4. Tahap Menulis Tulisan
Nama (Letter Name Writing, PhoneticWriting)
Tahap ini anak-anak mulai mamahami hubungan tulisan
dengan bunyi tertentu. Anak dapat menuliskan satu atau
beberapa huruf untuk melambangkan suatu kata, seperti menuliskan
huruf depan namanya saja atau menulis “bu” dengan sebagai lambang dari“buku”.
Sedangkan Feldman (1991)
memberikan batasan tentang tahapan kemampuan menulis pada anak;
1.
Scrible on the page, yaitu membuat goresan pada
kertas. Dalam tahap ini anak membuat gambar ataupun huruf-huruf yang terpisah.
2.
Copy Word, yaitu mencontoh huruf. Anak mulai
tertarik untuk mencontoh huruf seprti dalam kata mama, papa dan sebagainya
3.
Invented Spelling, yaitu belajar mengeja. Dalam
tahap ini anak mulai menemukan cara mengeja dan menuliskan huruf sesuai dengan
bunyinya.
Tahapan
kemampuan menulis diatas merupakan gambaran kemampuan menulis anak yang berawal
dari tahapan yang sederhana sampai tahapan yang lebih tinggi. Munculnya kemampuan
menulis ditandai dengan adanya ketertarikan anak pada kegiatan menulis yang
bermula dari mencoret, mencoba menulis huruf, menulis namanya sendiri dan
menirukan kata atau tulisan.
a.
Pengertian
Disgrafia
Disgrafia
berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “dys” kesulitan dan “graphia” huruf.
Berarti dapat diartikan bahwa disgrafia adalah kesulitan khusus yang membuat
anak sulit untuk menulis atau mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk suatu
tulisan dan menyusun huruf-huruf. Disgrafia adalah ketidakmampuan anak utuk
membuat suatu komposisi tulisan dalam bentuk teks ( Subini. 2011 ).
Disgrafia
adalah kesulitan khusus dimana anak-anak tidak bias menuliskan atau
mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk tulisan, karena mereka tidak mampu
menyusun kata dengan baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya untuk menulis,
dan umumnya terjadi pada saat anak mulai belajar menulis.
b.
Penyebab
Disgrafia
Secara
spesifik penyebab disgrafia tidak diketahui secara pasti, namun apabila
disgrafia terjadi secara tiba-tiba pada anak maupun orang yang telah dewasa
maka diduga disgrafia disebabkan oleh trauma kepala entah karena kecelakaan,
penyakit, dan seterusnya. Disamping itu para ahli juga menemukan bahwa anak
dengan gejala disgrafia terkadang mempunyai anggota keluarga yang memiliki
gejala serupa. Demikian ada kemungkinan faktor hereditas ikut berperan dalam
disgrafia.
Disgrafia
juga disebabkan karena faktor neurologis, yaitu gangguan pada otak kiri depan
yang berhubungan dengan kemampuan menulisnya. Kelainan neurologis ini
menghambat kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara fisik, seperti tidak
dapat memegang pensil dengan mantap ataupun tulisan tangannya buruk/tidak
terbaca. Anak dengan gangguan disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan dalam
mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya secara otomatis saat
menulis huruf dan angka.
Ada
beberapa ciri khusus anak yang mengalami gangguan disgrafia ini. Diantaranya
adalah:
1. Terdapat
ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
2. Saat
menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
3. Ukuran
dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
4. Anak
tampak harus berusaha keras dalam mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan atau
pemahamannya lewat tulisan.
5. Sulit
memegang pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu
dekat, bahkan menempel pada kertas.
6. Berbicara
pada diri sendiri ketika sedang menulis,
atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
7. Cara
menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan
proporsional.
8. Tetap
mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah
ada.
c.
Pendekatan
Teori Disgrafia
Teori
konstruksi sosial Vygotsky (Santroks:2004) memiliki tiga asumsi, yaitu:
1. Kemampuan
kognitif anak dapat dipahami hanya ketika mereka mampu menganalisa dan menginterpretasikan sesuatu.
2. Kemampuan
kognitif anak dimediasi oleh penggunaan bahasa atau kata-kata sebagai alat
untuk mentransformasi dan memfasilitasi aktivitas mental.
3. Kemampuan
kognitif berkaitan dengan hubungan sosial dan latar belakang sosial budaya.
Berdasarkan
asumsi-asumsi tersebut, Vygotsky mengemukakan tiga konsep belajar sebagai
berikut:
1. Zone
of Proximal Development (ZPD), yaitu suatu wilayah (range) antara level
terendah, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika tanpa bimbingan, hingga
level tertinggi, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika dengan bimbingan.
2. Scaffolding,
yaitu teknik untuk mengubah tingkat dukungan.
3. Language and thought.
Aplikasi
teori Vygotsky dapat digunakan guru dan orang tua untuk membantu anak yang
mengalami disgrafia:
Langkah-langkah yang dapat dilakukan meliputi:
1.
Mengidentifikasi masalah disgrafia, terdiri dari:
a.
Masalah penggunaan
huruf kapital.
b.
Ketidakkonsistenan
bentuk huruf.
c.
Alur yang tidak stabil
(tulisan naik turun).
d.
Ukuran dan bentuk huruf
tidak konsisten.
2. Menentukan ZPD pada masing-masing masalah
tersebut.
a.
ZPD untuk kesalahan
penggunaan huruf kapital.
b.
ZPD untuk
ketidakkonsistenan bentuk huruf.
c.
ZPD untuk
ketidakstabilan alur tulisan.
d.
ZPD untuk
ketidakkonsistenan ukuran huruf.
3. Merancang
program pelatihan dengan teknik scaffolding. Teknik scaffolding
dalam pelatihan ini meliputi tahapan sebagai berikut.
a.
Memberikan tugas
menulis kalimat yang didiktekan orang tua/guru.
b.
Bersama-sama dengan
siswa mengidentifikasi kesalahan tulisan mereka.
c.
Menjelaskan mengenai
pelatihan dan ZPD masing-masing permasalahan.
d.
Menjelaskan kriteria
penulisan yang benar dan meminta anak menyatakan kembali kriteria tersebut.
e.
Memberikan latihan
menulis dengan orang tua/guru memberikan bantuan.
f.
Mengevaluasi hasil
pekerjaan siswa bersama-sama dengan anak.
g.
Memberikan latihan
menulis dengan mengurangi bantuan terbatas pada kesalahan yang banyak dilakukan
anak.
h.
Mengevaluasi hasil
pekerjaan bersama-sama dengan anak.
i.
Memberikan latihan
menulis tanpa bantuan orang tua/guru.
j.
Mengevaluasi pekerjaan
anak.
Pelatihan tersebut diulang-ulang pada tiap-tiap
kesalahan disgrafia yang dialami anak hingga terdapat perubahan.
d.
Hal-hal
yang dapat dilakukan.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan
orang tua untuk membantu anak dengan gangguan menulis
(disgrafia). Di antaranya:
1. Pahami keadaan anak.
Sebaiknya pihak orang tua, guru, atau pendamping memahami
kesulitan dan keterbatasan yang dimiliki anak disgrafia. Berusahalah untuk
tidak membandingkan anak seperti itu dengan anak-anak lainnya. Sikap itu hanya
akan membuat kedua belah pihak, baik orang tua/guru maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika
memungkinkan, berikan tugas-tugas menulis yang singkat saja. Atau bisa juga
orang tua meminta kebijakan dari pihak sekolah untuk memberikan tes kepada anak
dengan gangguan ini secara lisan, bukan tulisan.
2. Menyajikan tulisan cetak.
Berikan kesempatan dan kemungkinan kepada anak disgrafia
untuk belajar menuangkan ide dan konsepnya dengan menggunakan komputer atau
mesin tik. Ajari dia untuk menggunakan alat-alat agar dapat mengatasi hambatannya.
Dengan menggunakan komputer, anak bisa memanfaatkan sarana korektor ejaan agar
ia mengetahui kesalahannya.
3. Membangun rasa percaya
diri anak.
Berikan pujian wajar pada setiap usaha yang dilakukan
anak. Jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan karena hal itu akan
membuatnya merasa rendah diri dan frustrasi. Kesabaran orang tua dan guru akan
membuat anak tenang dan sabar terhadap dirinya dan terhadap usaha yang sedang
dilakukannya.
4. Latih anak untuk terus
menulis.
Libatkan anak secara bertahap, pilih strategi yang sesuai
dengan tingkat kesulitannya untuk mengerjakan tugas menulis. Berikan tugas yang
menarik dan memang diminatinya, seperti menulis surat untuk teman, menulis pada
selembar kartu pos, menulis pesan untuk orang tua, dan sebagainya. Hal ini akan
meningkatkan kemampuan menulis anak disgrafia dan membantunya menuangkan konsep
abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk tulisan konkret.
Adapun
penanganan secara terstruktur dapat dilakukan melalui beberapa hal berikut:
1. Faktor kesiapan menulis.
Menulis membutuhkan kontrol maskular, koordinasi
mata-tangan, dan diskriminasi visual. Aktivitas yang mendukung kontrol muskular
antara lain: menggunting, mewarnai gambar, finger painting,
dan tracing. Kegiatan koordinasi mata-tangan antara lain: membuat
lingkaran dan menyalin bentuk geomteri. Sementara itu, pengembangan
diskriminasi visual dapat dilakukan dengan kegiatan membedakan bentuk, ukuran,
dan detailnya, sehingga anak menyadari bagaimana cara menulis suatu huruf.
2. Aktivitas lain yang
mendukung.
a.
Kegiatan yang memberikan
kerja aktif dari pergerakan otot bahu, lengan atas serta bawah, dan jari.
b.
Menelusuri bentuk
geometri dan barisan titik.
c.
Menyambungkan titik.
d.
Membuat garis horizontal
dari kiri ke kanan.
e.
Membuat garis vertikal
dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.
f.
Membuat bentuk-bentuk
lingkaran dan kurva.
g.
Membuat garis miring secara vertikal.
h.
Menyalin bentuk-bentuk
sederhana.
i.
Membedakan bentuk huruf
yang mirip bentuknya dan huruf yang hampir sama bunyinya.
3. Menulis
huruf lepas/cetak.
a.
Perlihatkan sebuah huruf
yang akan ditulis.
b.
Anak menelusuri garis
tersebut dengan pensilnya.
c.
Ucapkan dengan jelas nama huruf dan arah garis untuk
membuat huruf itu.
d.
Anak menelusuri huruf
itu dengan jarinya sambil mengucapkan dengan jelas arah garis untuk membuat
huruf itu.
e.
Anak menyalin contoh
huruf itu di kertas/bukunya.
Jika cara ini sudah dikuasai, mintalah anak menyambungkan
titik yang dibentuk menjadi huruf tertentu, sampai akhirnya anak mampu membuat
huruf dengan baik tanpa dibantu. Tahap selanjutnya adalah menulis kata dan
kalimat.
4. Menulis huruf transisi.
Huruf transisi adalah huruf yang digunakan untuk melatih
siswa sebelum menguasai huruf sambung. Adapun langkah-langkah pengajarannya sebagai
berikut:
a.
Kata atau huruf ditulis
dalam bentuk lepas atau cetak.
b.
Huruf yang satu dan yang
lain disambungkan dengan titik-titik dengan meggunakan warna yang berbeda.
c.
Anak menelusuri huruf
dan sambungannya sehingga menjadi bentuk huruf sambung.
5. Menulis huruf sambung.
Mengajarkan huruf sambung dapat menggunakan langkah-langkah
huruf lepas dan transisi.
D. METODOLOGI
Metodologi
penelitian untuk mengetahui gangguan kesulitan belajar menulis pada anak usia
dini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif yang bersifat
deskriptif karena berusaha untuk mendapatkan data dasar mengenai gangguan
kesulitan menulis yang dialami oleh anak usia dini.
Penulis
akan meneliti bagaimana upaya untuk melatih anak dengan gangguan disgrafia
melalui metode menulis dengan menghubungkan titik-titik pada kertas berpetak,
yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah disgrafia yang salah satu
ciri khususnya yaitu ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak
proporsional dan cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang
tepat dan proporsional.
Contoh lembar kerja latihan menulis dengan menghubungkan
titik-titik pada kertas berpetak.
Penulis sertakan tabel cara melatih anak disgrafia agar dapat
menulis dengan baik dan benar seperti
di bawah ini.
Faktor
|
Masalah
|
Penyebabnya
|
Remedial
|
Bentuk
|
Huruf terlalu
miring
|
Posisi kertas
yang miring
|
Betulkan
posisi kertas sehingga tegak lurus dengan badan
|
Ukuran
|
Terlalu besar
dan terlalu tebal
|
· Kurang memahami garis tulisan
· Gerakan tangan yang kaku
|
· Ajarkan kembali tentang konsep ukuran
dan perjelas garis tulisan
· Latih gerakan tangan, salah satu
caranya dengan latihan membuat lingkaran atau bentuk lengkung
|
Spasi
|
· Huruf dalam satu kata seperti
menumpuk
· Spasi antar-huruf terlalu lebar
|
· Kurang memahami konsep spasi
· Kurang memahami bentuk dan ukuran
|
·
Ajarkan kembali konsep spasi antar-kata
·
Kaji kembali konsep bentuk ukuran dan huruf
|
Kualitas garis
|
Terlalu tebal
atau menekan terlalu tipis
|
Masalah pada
tekanan tulisan
|
Perbaikilah
cara-cara memegang alat tulis, perbaiki juga gerakan tangan,
serta beikan latihan menulis di atas kertas tipis dan kertas kasar
|
Kecepatan
|
Lambat ketika
dalam menulis yaitu ketika menyalin atau saat dikte
|
Tingkat
kemampuan menulis tidak sebanding dengan kecepatannya
|
Latih menarik
garis lurus dengan cepat serta latihan membuat bentuk melingkar, tegak dan
melengkung di kertas berpetak
|
BAB II
PEMBAHASAN
Disgrafia
atau kesulitan menulis adalah kesulitan khusus dimana anak tidak bisa
menuliskan atau mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk tulisan, karena
ketidakmampuan dalam mengkoordinasikan tangan dan jarinya untuk menulis.
Ada beberapa faktor
yang yang mempengaruhi ketidakmampuan menulis (disgrafia). Diantaranya motorik,
perilaku, persepsi, memori, dan pemahan instruktur. Motorik halus yang lemah
dalam hal gerak tangan yang lemah dalam menekan pensil akan meyulitkan anak
dalam mengembangkan kemampuan menulis. Perilaku anak yang kurang memperhatikan
dan konsentrasi akan menghambat anak untuk menulis. Hal yang menyulitkan
menulis adalah persepsinya yang sulit dalam mendengar dan membedakan
huruf-huruf. Memori anak yang sulit mengingat kembali yang hal-hal yang
didengar dan dilihat juga menjadi unsur yang penting yang harus diperhatikan.
Penyebab disgrafia belum diketahui penyebabnya , tetapi diduga karena adanya
kejadian traumatik yang mengganggu perkembangan si anak. Pengaruh keturunan
juga ikut andil dalam penyebab disgrafia. Penyebab lainnya yaitu masalah
neurologis, terdapat defisit sensorik penyimpanan laterisasi yang ada di otak.
Karena anak dengan
gangguan disgrafia sulit membedakan symbol atau huruf-huruf, maka latihan
pembelajaran menulis permulaannya dengan menggunakan cara menghubungkan
titik-titik membentuk huruf pada kertas berpetak. Diharapkan bagi anak yang
berkesulitan menulis bisa mencoba berlatih menulis mengikuti alur titik-titik
yang membentuk suatu huruf atau angka.
Diawal
anak mungkin merasa kesulitan, untuk itu menghubungkan titik-titik hendaknya
dimulai dari bentuk yang sederhana, seperti menghubungkan titik-titik membentuk
garis vertical, horizontal, lengkung keatas, lengkung kebawah, dilanjutkan
dengan meghubungkan titik-titik bentuk
geometri seperti lingkaran, persegi, segitiga dan seterusnya. Dilakukan pada
kertas berpetak supaya anak berlatih konsisten dalam penulisannya mulai dari
ukuran dan bentuk huruf supaya lebih proporsional. Jika anak sudah terbiasa menghubungkan
titik-titik dari bentuk yang sederhana maka anak akan lebih mudah melanjutkan
latihan pada tahap yang lebih kompleks.
Untuk
mendukung program pembelajaran menulis diatas, perlu disertakan teknik scaffolding,
yang merupakan bagian konsep belajar pendekatan teori konstruksi social
vygotsky yakni dengan cara memberikan tugas menghubungkan titik-titik membentuk
huruf atau angka yang didiktekan orang tua/guru , kemudian bersama-sama dengan
anak mengidentifikasi kesalahan tulisan mereka, menjelaskan mengenai pelatihan
dan ketidakkonsistenan bentuk huruf dan ukurannya, selanjutnya menjelaskan
kriteria penulisan yang benar dan meminta anak menyatakan kembali kriteria tersebut. Dilanjutkan memberikan
latihan menulis dengan orang tua/guru memberikan bantuan. Kemudian mengevaluasi
hasil pekerjaan bersama-sama dengan anak. Kembali meemberikan latihan menulis
dengan mengurangi bantuan terbatas pada kesalahan yang banyak dilakukan anak
kemudian dievaluasi bersama-sama anak, dan yang terakhir memberikan latihan
menulis tanpa bantuan orang tua/guru kemudian mengevaluasi pekerjaan anak. Pelatihan
tersebut diulang-ulang pada tiap-tiap kesalahan disgrafia yang dialami
anak hingga terdapat perubahan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Upaya melatih anak berkesulitan
menulis permulaan dengan cara latihan menghubungkan titik-titik membentuk simbol
huruf atau angka pada kertas atau buku berpetak sangat efektif digunakan untuk
mengatasi anak disgrafia, yang tentunya proses pelatihannya didukung dengan
teknik scaffolding untuk mengubah tingkat dukungan, yang mana harus dilakukan
berulang-ulang pada tiap kesalahan yang dialami anak hingga terdapat perubahan
hasil yang dicapai pada anak disgrafia.