Selasa, 25 Desember 2012

Makalah " Efektivitas Teknik Scaffolding dalam Pembelajaran Menulis pada Anak Disgrafia"


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut. Tahap perkembangan anak pada usia dini merupakan masa yang sangat penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Perkembangan otak pada usia dini mencapai hampir 80%, Oleh karena itu pengoptimalan perkembangan anak dengan memberi stimulasi positif pada masa golden age ini sangat penting untuk dilakukan melalui pemberian rangsangan.
Pendidikan anak usia dini bertujuan untuk mengembangkan semua aspek perkembangan yang dimiliki anak, dan diharapkan dengan adanya pendidikan anak usia dini dapat mengembangkan hidden potency sehingga potensi tersebut dapat teraktualisasi. Salah satu aspek perkembangan anak usia dini yaitu perkembangan bahasa. Masa puncak untuk mempelajari bahasa adalah dari lahir sampai usia 6 tahun, sedangkan masa yang paling intensif adalah 3 tahun pertama usia anak dimana ketika itu otak sedang berkembang menuju proses pematangan. Kemampuan bahasa yang pertama kali diperoleh anak adalah kemampuan bahasa lisan yang mencakup kemampuan mendengar dan berbicara, kemampuan ini menjadi dasar dalam pengembangan kemampuan bahasa lainnya yaitu membaca dan menulis.  
Kemampuan menulis berhubungan dengan kemampuan motorik yakni motorik halus karena menekankan pada kordinasi otot tangan dan jari atau kelenturan tangan yang bersifat keterampilan. Kegiatan menulis dasar sudah dapat dimulai saat anak menunjukkan perilaku seperti mencoret-coret buku atau dinding, kondisi tersebut menunjukkan berfungsinya sel-sel otak yang perlu dirangsang supaya berkembang secara optimal.
           Menulis merupakan salah satu media untuk berkomunikasi, dimana anak dapat menyampaikan ide, makna, pikiran dan perasaannya melalui untaian kata-kata yang bermakna, Kesulitan menulis akan menjadi hambatan dalam proses pembelajaran anak, karena anak yang mengalami kesulitan menulis ini tidak bisa menuangkan dan mengemukakan ide dengan baik.

Aktifitas belajar menulis bagi setiap anak tidak selamanya berangsur secara wajar, karena setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda, perbedaan individu pula yang menyebabkan perbedaan tingkah laku anak, anak yang tidak mampu menulis sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan Disgrafia. Yakni kesulitan khusus dimana anak-anak tidak bisa menuliskan atau mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan, karena mereka tidak bisa menyuruh atau menyusun kata dengan baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya ( tangan ) untuk menulis. Pada anak-anak umumnya kesulitan ini terjadi pada saat anak mulai belajar menulis. Kesulitan ini tidak tergantung kemampuan lainnya. Seseorang bisa sangat fasih dalam berbicara dan keterampilan motorik lainnya, tapi mempunyai kesulitan dalam  menulis.


 B. PERMASALAHAN

Dari latar belakang masalah tersebut bisa disimpulkan bahwa kesulitan menulis pada anak bila tidak dideteksi secara dini dan tidak dilakukan terapi yang benar, bisa menyebabkan kegagalan dalam proses pendidikan anak. Sehingga harus ditempuh upaya penyelesaian untuk mengatasi permasalahan disgrafia ini.
Berdasarkan permasalahan tentang perkembangan menulis dan kesulitan yang menghambatnya, maka penelitian ini ini difokuskan untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi disgrafia, masalah tersebut dirumuskan dalam bagaimana efektivitas teknik Scaffolding dalam pembelajaran menulis bagi anak disgrafia.

C. LANDASAN TEORI
a. Pengertian Menulis
Menulis merupakan salah satu kemampuan berbahasa. Dalam pembagian kemampuan berbahasa, menulis selalu diletakkan paling akhir setelah kemampuan menyimak, berbicara, dan membaca. Meskipun selalu ditulis paling akhir, bukan berarti menulis merupakan kemampuan yang tidak penting. Dalam menulis semua unsur keterampilan berbahasa harus dikonsentrasikan secara penuh agar mendapat hasil yang benar-benar baik.
Banyak pengertian yang dikemukaakan para ahli untuk mendefinisikan menulis,  Tarigan (Djuanda,2008:180) mengemukakan bahwa : Menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa gambar itu. Senada dengan itu M. Atar Semi (2007: 14) dalam bukunya mengungkapkan pengertian menulis adalah suatu proses kreatif memindahkan gagasan ke dalam lambang-lambang tulisan.
  Henry Guntur Tarigan (1986: 15) menyatakan bahwa menulis dapat diartikan sebagai kegiatan menuangkan ide/gagasan dengan menggunakan bahasa tulis sebagai media penyampai. Menurut Djago Tarigan dalam Elina Syarif, Zulkarnaini, Sumarno (2009: 5) menulis berarti mengekpresikan secara tertulis gagasan, ide, pendapat, atau pikiran dan perasaan. Lado dalam Elina Syarif, Zulkarnaini, Sumarno (2009: 5) juga mengungkapkan pendapatnya mengenai menulis yaitu: meletakkan simbol grafis yang mewakili bahasa yang dimengerti orang lain.
Menurut  pendapat Hasani (2005:5) menulis merupakan keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Menulis merupakan kegiatan yang produktif dan ekspresif, sehingga penulis harus mampu memanfaatkan kemampuan dalam menggunakan tata tulis, struktur bahasa dan kosakata.
Menulis memerlukan keterampilan pengendalian otot ,koordinasi mata dan tangan, diskriminasi visual. Keterampilan dasar kesiapan menulis harus dikembangkan sebelum anak memulai belajar menulis. Pengendalian otot dapat dikembangkan melalui aktivitas manipulatif, misalnya memotong dengan gunting, menggambar dengan ujung jari, menelusuri dan mewarnai. Koordinasi mata dan tangan dapat dilatih melalui kegiatan menggambar lingkaran dan bentuk geometri lain. Semua keterampilan dasar sangat diperlukan untuk mengenal berbagai bentuk huruf, serta cara penulisan huruf itu sendiri (Yusuf, 2005: 187).
Menulis dapat dianggap sebagai suatu proses maupun suatu hasil. Menulis merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk menghasilkan sebuah tulisan. Menurut Heaton dalam St. Y. Slamet (2008: 141) menulis merupakan keterampilan yang sukar dan kompleks.
Menulis menurut McCrimmon dalam St. Y. Slamet (2008: 141) merupakan kegiatan menggali pikiran dan perasaan mengenai suatu subjek, memilih hal-hal yang akan ditulis, menentukan cara menuliskannya sehingga pembaca dapat memahaminya dengan mudah dan jelas. St. Y. Slamet (2008: 72) sendiri mengemukakan pendapatnya tentang menulis yaitu kegiatan yang memerlukan kemampuan yang bersifat kompleks.
Menulis merupakan ekspresi/ungkapan dari bahasa lisan dalam suatu bentuk goresan/coretan. Kegiatan awal menulis dimulai ketika anak pura- pura menulis diatas kertas, pasir, atau media lainnya dalam bentuk coretan–coretan sampai anak mampu menirukan bentuk tulisan yang sesungguhnya.

b. Tahapan-Tahapan Menulis
Menurut Brewer ada 4 tahapan dalam kemampuan menulis sebagai berikut:
1.      Tahap mencoret atau Membuat Goresan (Scribble Stage).
Tahap ini anak ditandai dengan mulainya anak menggunakan alat tulis untuk membuat coretan. Sebelum ia belajar untuk membuat huruf yang dapat dikenali.
2.      Tahap Pengulangan secara linear (Linear Repetitif Stage).
Tahap ini anak menemukan bahwa tulisan biasanya berarah horizontal dan huruf-huruf tersusun berupa barisan pada halaman kertas. Anak juga telah mengetahui bahwa kata yang panjang akan ditulis dalam barisan huruf yang lebih panjang di bandingkan dengan kata yang pendek.
3.      Tahap Menulis secara Random/acak  (Random Letter Stage).
Pada tahap ini anak balajar mengenai bentuk coretan yang dapat diterima sebagai huruf dan dapat menuliskan huruf-huruf tersebut dalam urutan acak dengan maksud    menuliskan huruf tertentu.
4.      Tahap Menulis Tulisan Nama (Letter Name Writing, PhoneticWriting)
Tahap ini anak-anak mulai mamahami hubungan tulisan dengan bunyi tertentu. Anak dapat menuliskan satu atau beberapa huruf untuk melambangkan suatu kata, seperti menuliskan huruf depan namanya saja atau menulis “bu” dengan sebagai lambang dari“buku”.
Sedangkan Feldman (1991) memberikan batasan tentang tahapan kemampuan menulis pada anak;
1.      Scrible on the page, yaitu membuat goresan pada kertas. Dalam tahap ini anak membuat gambar ataupun huruf-huruf yang terpisah.
2.      Copy Word, yaitu mencontoh huruf. Anak mulai tertarik untuk mencontoh huruf seprti dalam kata mama, papa dan sebagainya
3.      Invented Spelling, yaitu belajar mengeja. Dalam tahap ini anak mulai menemukan cara mengeja dan menuliskan huruf sesuai dengan bunyinya.

Tahapan kemampuan menulis diatas merupakan gambaran kemampuan menulis anak yang berawal dari tahapan yang sederhana sampai tahapan yang lebih tinggi. Munculnya kemampuan menulis ditandai dengan adanya ketertarikan anak pada kegiatan menulis yang bermula dari mencoret, mencoba menulis huruf, menulis namanya sendiri dan menirukan kata atau tulisan.

a.    Pengertian Disgrafia
Disgrafia berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “dys” kesulitan dan “graphia” huruf. Berarti dapat diartikan bahwa disgrafia adalah kesulitan khusus yang membuat anak sulit untuk menulis atau mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk suatu tulisan dan menyusun huruf-huruf. Disgrafia adalah ketidakmampuan anak utuk membuat suatu komposisi tulisan dalam bentuk teks ( Subini. 2011 ).
Disgrafia adalah kesulitan khusus dimana anak-anak tidak bias menuliskan atau mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk tulisan, karena mereka tidak mampu menyusun kata dengan baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya untuk menulis, dan umumnya terjadi pada saat anak mulai belajar menulis.

b.   Penyebab Disgrafia
Secara spesifik penyebab disgrafia tidak diketahui secara pasti, namun apabila disgrafia terjadi secara tiba-tiba pada anak maupun orang yang telah dewasa maka diduga disgrafia disebabkan oleh trauma kepala entah karena kecelakaan, penyakit, dan seterusnya. Disamping itu para ahli juga menemukan bahwa anak dengan gejala disgrafia terkadang mempunyai anggota keluarga yang memiliki gejala serupa. Demikian ada kemungkinan faktor hereditas ikut berperan dalam disgrafia.
Disgrafia juga disebabkan karena faktor neurologis, yaitu gangguan pada otak kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan menulisnya. Kelainan neurologis ini menghambat kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara fisik, seperti tidak dapat memegang pensil dengan mantap ataupun tulisan tangannya buruk/tidak terbaca. Anak dengan gangguan disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya secara otomatis saat menulis huruf dan angka.
Ada beberapa ciri khusus anak yang mengalami gangguan disgrafia ini. Diantaranya adalah:
1.      Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
2.      Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
3.      Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
4.      Anak tampak harus berusaha keras dalam mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan atau pemahamannya lewat tulisan.
5.      Sulit memegang pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat, bahkan menempel pada kertas.
6.      Berbicara pada diri sendiri ketika sedang  menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
7.      Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
8.      Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.

c.    Pendekatan Teori Disgrafia
Teori konstruksi sosial Vygotsky (Santroks:2004) memiliki tiga asumsi, yaitu:
1.      Kemampuan kognitif anak dapat dipahami hanya ketika mereka mampu  menganalisa       dan menginterpretasikan sesuatu.
2.      Kemampuan kognitif anak dimediasi oleh penggunaan bahasa atau kata-kata sebagai alat untuk mentransformasi dan memfasilitasi aktivitas mental.
3.      Kemampuan kognitif berkaitan dengan hubungan sosial dan latar belakang sosial budaya.
 Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, Vygotsky mengemukakan tiga  konsep belajar sebagai berikut:
1.      Zone of Proximal Development (ZPD), yaitu suatu wilayah (range) antara level terendah, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika tanpa bimbingan, hingga level tertinggi, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika dengan bimbingan.
2.      Scaffolding, yaitu teknik untuk mengubah tingkat dukungan.
3.       Language and thought.

Aplikasi teori Vygotsky dapat digunakan guru dan orang tua untuk membantu anak yang mengalami disgrafia:
               Langkah-langkah yang dapat dilakukan meliputi:
               1. Mengidentifikasi masalah disgrafia, terdiri dari:
a.         Masalah penggunaan huruf kapital.
b.        Ketidakkonsistenan bentuk huruf.
c.         Alur yang tidak stabil (tulisan naik turun).
d.        Ukuran dan bentuk huruf tidak konsisten.
               2. Menentukan ZPD pada masing-masing masalah tersebut.
a.         ZPD untuk kesalahan penggunaan huruf kapital.
b.        ZPD untuk ketidakkonsistenan bentuk huruf.
c.         ZPD untuk ketidakstabilan alur tulisan.
d.        ZPD untuk ketidakkonsistenan ukuran huruf.
               3. Merancang program pelatihan dengan teknik scaffolding. Teknik  scaffolding dalam pelatihan ini meliputi tahapan sebagai berikut.
a.         Memberikan tugas menulis kalimat yang didiktekan orang tua/guru.
b.        Bersama-sama dengan siswa mengidentifikasi kesalahan tulisan mereka.
c.         Menjelaskan mengenai pelatihan dan ZPD masing-masing permasalahan.
d.        Menjelaskan kriteria penulisan yang benar dan meminta anak menyatakan    kembali kriteria tersebut.
e.         Memberikan latihan menulis dengan orang tua/guru memberikan bantuan.
f.         Mengevaluasi hasil pekerjaan siswa bersama-sama dengan anak.
g.        Memberikan latihan menulis dengan mengurangi bantuan terbatas pada kesalahan yang banyak dilakukan anak.
h.        Mengevaluasi hasil pekerjaan bersama-sama dengan anak.
i.          Memberikan latihan menulis tanpa bantuan orang tua/guru.
j.          Mengevaluasi pekerjaan anak.
Pelatihan tersebut diulang-ulang pada tiap-tiap kesalahan disgrafia  yang dialami anak hingga terdapat perubahan.

d.        Hal-hal yang dapat dilakukan.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk membantu anak dengan gangguan menulis (disgrafia). Di antaranya:
1.    Pahami keadaan anak.
Sebaiknya pihak orang tua, guru, atau pendamping memahami kesulitan dan keterbatasan yang dimiliki anak disgrafia. Berusahalah untuk tidak membandingkan anak seperti itu dengan anak-anak lainnya. Sikap itu hanya akan membuat kedua belah pihak, baik orang tua/guru maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika memungkinkan, berikan tugas-tugas menulis yang singkat saja. Atau bisa juga orang tua meminta kebijakan dari pihak sekolah untuk memberikan tes kepada anak dengan gangguan ini secara lisan, bukan tulisan.
2.    Menyajikan tulisan cetak.
Berikan kesempatan dan kemungkinan kepada anak disgrafia untuk belajar menuangkan ide dan konsepnya dengan menggunakan komputer atau mesin tik. Ajari dia untuk menggunakan alat-alat agar dapat mengatasi hambatannya. Dengan menggunakan komputer, anak bisa memanfaatkan sarana korektor ejaan agar ia mengetahui kesalahannya.
3.    Membangun rasa percaya diri anak.
Berikan pujian wajar pada setiap usaha yang dilakukan anak. Jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan karena hal itu akan membuatnya merasa rendah diri dan frustrasi. Kesabaran orang tua dan guru akan membuat anak tenang dan sabar terhadap dirinya dan terhadap usaha yang sedang dilakukannya.
4.    Latih anak untuk terus menulis.
Libatkan anak secara bertahap, pilih strategi yang sesuai dengan tingkat kesulitannya untuk mengerjakan tugas menulis. Berikan tugas yang menarik dan memang diminatinya, seperti menulis surat untuk teman, menulis pada selembar kartu pos, menulis pesan untuk orang tua, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kemampuan menulis anak disgrafia dan membantunya menuangkan konsep abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk tulisan konkret.

Adapun penanganan secara terstruktur dapat dilakukan melalui beberapa hal berikut:
1.    Faktor kesiapan menulis.
Menulis membutuhkan kontrol maskular, koordinasi mata-tangan, dan diskriminasi visual. Aktivitas yang mendukung kontrol muskular antara lain: menggunting, mewarnai gambar, finger painting, dan tracing. Kegiatan koordinasi mata-tangan antara lain: membuat lingkaran dan menyalin bentuk geomteri. Sementara itu, pengembangan diskriminasi visual dapat dilakukan dengan kegiatan membedakan bentuk, ukuran, dan detailnya, sehingga anak menyadari bagaimana cara menulis suatu huruf.
2.    Aktivitas lain yang mendukung.
a.         Kegiatan yang memberikan kerja aktif dari pergerakan otot bahu, lengan atas serta bawah, dan jari.
b.         Menelusuri bentuk geometri dan barisan titik.
c.         Menyambungkan titik.
d.        Membuat garis horizontal dari kiri ke kanan.
e.         Membuat garis vertikal dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.
f.          Membuat bentuk-bentuk lingkaran dan kurva.
g.          Membuat garis miring secara vertikal.
h.         Menyalin bentuk-bentuk sederhana.
i.           Membedakan bentuk huruf yang mirip bentuknya dan huruf yang hampir sama bunyinya.
3.    Menulis huruf lepas/cetak.
a.         Perlihatkan sebuah huruf yang akan ditulis.
b.         Anak menelusuri garis tersebut dengan pensilnya.
c.          Ucapkan dengan jelas nama huruf dan arah garis untuk membuat huruf itu.
d.        Anak menelusuri huruf itu dengan jarinya sambil mengucapkan dengan jelas arah garis untuk membuat huruf itu.
e.         Anak menyalin contoh huruf itu di kertas/bukunya.
Jika cara ini sudah dikuasai, mintalah anak menyambungkan titik yang dibentuk menjadi huruf tertentu, sampai akhirnya anak mampu membuat huruf dengan baik tanpa dibantu. Tahap selanjutnya adalah menulis kata dan kalimat.
4.    Menulis huruf transisi.
Huruf transisi adalah huruf yang digunakan untuk melatih siswa sebelum menguasai huruf sambung. Adapun langkah-langkah pengajarannya sebagai berikut:
a.         Kata atau huruf ditulis dalam bentuk lepas atau cetak.
b.         Huruf yang satu dan yang lain disambungkan dengan titik-titik dengan meggunakan warna yang berbeda.
c.         Anak menelusuri huruf dan sambungannya sehingga menjadi bentuk huruf sambung.
5.    Menulis huruf sambung.
Mengajarkan huruf sambung dapat menggunakan langkah-langkah huruf lepas dan transisi.

D. METODOLOGI
Metodologi penelitian untuk mengetahui gangguan kesulitan belajar menulis pada anak usia dini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan kuantitatif yang bersifat deskriptif karena berusaha untuk mendapatkan data dasar mengenai gangguan kesulitan menulis yang dialami oleh anak usia dini.
Penulis akan meneliti bagaimana upaya untuk melatih anak dengan gangguan disgrafia melalui metode menulis dengan menghubungkan titik-titik pada kertas berpetak, yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah disgrafia yang salah satu ciri khususnya yaitu ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional dan cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
 














Contoh lembar kerja latihan menulis dengan menghubungkan titik-titik pada kertas berpetak.

Penulis sertakan tabel cara melatih anak disgrafia agar dapat menulis dengan baik dan benar seperti di bawah ini.

Faktor
Masalah
Penyebabnya
Remedial
Bentuk
Huruf terlalu miring
Posisi kertas yang miring
Betulkan posisi kertas sehingga tegak lurus dengan badan
Ukuran
Terlalu besar dan terlalu tebal
·         Kurang memahami garis tulisan
·         Gerakan tangan yang kaku
·         Ajarkan kembali tentang konsep ukuran dan perjelas garis tulisan
·         Latih gerakan tangan, salah satu caranya dengan latihan membuat lingkaran atau bentuk lengkung
Spasi
·         Huruf dalam satu kata seperti menumpuk
·         Spasi antar-huruf terlalu lebar
·         Kurang memahami konsep spasi
·         Kurang memahami bentuk dan ukuran
·         Ajarkan kembali konsep spasi antar-kata
·         Kaji kembali konsep bentuk ukuran dan huruf
Kualitas garis
Terlalu tebal atau menekan terlalu tipis
Masalah pada tekanan tulisan
Perbaikilah cara-cara   memegang alat tulis, perbaiki juga gerakan tangan, serta beikan latihan menulis di atas kertas tipis dan kertas kasar
Kecepatan
Lambat ketika dalam menulis yaitu ketika menyalin atau saat dikte
Tingkat kemampuan menulis tidak sebanding dengan kecepatannya
Latih menarik garis lurus dengan cepat serta latihan membuat bentuk melingkar, tegak dan melengkung di kertas berpetak







BAB II
PEMBAHASAN

Disgrafia atau kesulitan menulis adalah kesulitan khusus dimana anak tidak bisa menuliskan atau mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk tulisan, karena ketidakmampuan dalam mengkoordinasikan tangan dan jarinya untuk menulis. 
Ada beberapa faktor yang yang mempengaruhi ketidakmampuan menulis (disgrafia). Diantaranya motorik, perilaku, persepsi, memori, dan pemahan instruktur. Motorik halus yang lemah dalam hal gerak tangan yang lemah dalam menekan pensil akan meyulitkan anak dalam mengembangkan kemampuan menulis. Perilaku anak yang kurang memperhatikan dan konsentrasi akan menghambat anak untuk menulis. Hal yang menyulitkan menulis adalah persepsinya yang sulit dalam mendengar dan membedakan huruf-huruf. Memori anak yang sulit mengingat kembali yang hal-hal yang didengar dan dilihat juga menjadi unsur yang penting yang harus diperhatikan. Penyebab disgrafia belum diketahui penyebabnya , tetapi diduga karena adanya kejadian traumatik yang mengganggu perkembangan si anak. Pengaruh keturunan juga ikut andil dalam penyebab disgrafia. Penyebab lainnya yaitu masalah neurologis, terdapat defisit sensorik penyimpanan laterisasi yang ada di otak.
Karena anak dengan gangguan disgrafia sulit membedakan symbol atau huruf-huruf, maka latihan pembelajaran menulis permulaannya dengan menggunakan cara menghubungkan titik-titik membentuk huruf pada kertas berpetak. Diharapkan bagi anak yang berkesulitan menulis bisa mencoba berlatih menulis mengikuti alur titik-titik yang membentuk suatu huruf atau angka.
Diawal anak mungkin merasa kesulitan, untuk itu menghubungkan titik-titik hendaknya dimulai dari bentuk yang sederhana, seperti menghubungkan titik-titik membentuk garis vertical, horizontal, lengkung keatas, lengkung kebawah, dilanjutkan dengan meghubungkan titik-titik  bentuk geometri seperti lingkaran, persegi, segitiga dan seterusnya. Dilakukan pada kertas berpetak supaya anak berlatih konsisten dalam penulisannya mulai dari ukuran dan bentuk huruf supaya lebih proporsional.  Jika anak sudah terbiasa menghubungkan titik-titik dari bentuk yang sederhana maka anak akan lebih mudah melanjutkan latihan pada tahap yang lebih kompleks.
Untuk mendukung program pembelajaran menulis diatas, perlu disertakan teknik scaffolding, yang merupakan bagian konsep belajar pendekatan teori konstruksi social vygotsky yakni dengan cara memberikan tugas menghubungkan titik-titik membentuk huruf atau angka yang didiktekan orang tua/guru , kemudian bersama-sama dengan anak mengidentifikasi kesalahan tulisan mereka, menjelaskan mengenai pelatihan dan ketidakkonsistenan bentuk huruf dan ukurannya, selanjutnya menjelaskan kriteria penulisan yang benar dan meminta anak menyatakan    kembali kriteria tersebut. Dilanjutkan memberikan latihan menulis dengan orang tua/guru memberikan bantuan. Kemudian mengevaluasi hasil pekerjaan bersama-sama dengan anak. Kembali meemberikan latihan menulis dengan mengurangi bantuan terbatas pada kesalahan yang banyak dilakukan anak kemudian dievaluasi bersama-sama anak, dan yang terakhir memberikan latihan menulis tanpa bantuan orang tua/guru kemudian mengevaluasi pekerjaan anak. Pelatihan tersebut diulang-ulang pada tiap-tiap kesalahan disgrafia  yang dialami anak hingga terdapat perubahan.





















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Upaya melatih anak berkesulitan menulis permulaan dengan cara latihan menghubungkan titik-titik membentuk simbol huruf atau angka pada kertas atau buku berpetak sangat efektif digunakan untuk mengatasi anak disgrafia, yang tentunya proses pelatihannya didukung dengan teknik scaffolding untuk mengubah tingkat dukungan, yang mana harus dilakukan berulang-ulang pada tiap kesalahan yang dialami anak hingga terdapat perubahan hasil yang dicapai pada anak disgrafia.